[Catper] Tegal Panjang (Eps. 01)

Alam selalu terlihat berantakan dan tak teratur. Puting beliung, tsunami, gempa, ledakan api di matahari, supernova dan entah berapa banyak kekacauan lainnya di ujung semesta sana yang belum teramati. Revolusi sains yang dimulai sejak era Yunani kuno berusaha menguak rahasia ketidakteraturan itu. Tepatnya, sang filsuf pertama, Thales-lah yang memisakan antara sains dari mitologi yang dianut bangsa Yunani kala itu. Bila diteliti lebih seksama, dari kekacauan yang terjadi di alam, akan terlihat pola dasar yang sama. Maka disusunlah teori Sains.

Selama abad 18 sampai abad ke-19, sains melaju drastis. Sebagian besar fenomena fisika, kimia, dan biologi telah terungkap. Sains terus berkembang, tumbuh liar membabi buta, penemuan-penemuan baru bukannya memberikan jawaban tetapi malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Dengan akalnya, manusia terus berusaha memahami apa, dan bagaimana alam bekerja. Memang tak sepenuhnya terjawab, dan rasanya tak akan pernah terjawab semuanya, namun melalui sains lah kita bisa melihat keindahan alam yang sesungguhnya. Sains bukanlah segalanya, tetapi sains itu indah, dan bisa membuat kita mengenal alam ini lebih indah.

***

Socrates, sang guru dari Plato dan Aristoteles suatu saat pernah menulis, “Batu yang disebut magnet oleh Euripides (sastrawan Yunani kuno dan saya imani merupakan seorang arsitek juga), tidak hanya bisa menarik cincin-cincin besi tetapi juga bisa membagi dayanya kepada cincin tersebut sehinga cincin itu bisa menarik cincin besi lain, yang jika dirangkaikan satu sama lain membentuk rantai yang panjang”.

Namun kali ini bukan batu magnet tersebut yang menarik saya untuk bergila membeli tiket kereta api kelas bisnis dari Surabaya ke Bandung yang harganya sedang berada di titik maximum, tepat sebulan sebelum tanggal pemberangkatan. Aku ingin membuktikan pendapat Socrates, bahwa batu magnet tidak hanya bisa menarik saya, tapi juga memberikan daya sehingga orang lain tertarik ke kegilaanku. Dan ternyata pendapat Socrates tersebut benar! Seorang temanku yang telah kuhasut beberapa hari terbagi daya dari “batu magnet” tersebut, ia mau menikmati kegilaan ini bersamaku.

16 Mei, jam empat sore kurang sekian menit.
“Piiiiddddd, dmn km?aq udh di stasiun cpetan dah pada dipanggil satu2 penumpangnya” sms masuk dari nyanyah copi. Tak habis pikir, baru sekarang penumpang kereta api dipanggil satu-satu, ini nyanyah copi lagi nunggu di bandara atau Kereta Api? Ah masa bodoh, aku sedang menikmati angkot yang jalannya sangat eksotis. Jika sahabat pernah menggunakan modem GSM, lalu mengunduh film dari rapidshare pada jam-jam sibuk tanpa menggunakan aplikasi Download Manager, sebelas duabelaslah kecepatannya dengan kecepatan angkot yang kutumpangi waktu itu, saya beri waktu 1 menit untuk membayangkannya, silahkan dimulai dari sekarang.

Nyanyah Copi
2x F Sby *MiRC banget (doh)*, berkedurung, 16x cm, dan kopi. Mbak-mbak ini tak bisa dilepas dari yang namanya kopi, entah itu kopi jerman, kopi aceh, kopi hitam, atau bahkan kopi teman (kopinya teman maksudnya) sudah pernah dirasakannya. Mendaki gunung, lewati lembah… sungai mengalir indah ke samudera…, bersama teman bertualang… tempat yang baru belum pernah terjamah… merupakan kegemarannya. *itu yang nyanyi tolong berhenti*. Mbak-mbak yang sedang galau menunggu mash-mash berkuda putihnya ini sangat aktif di dunia digital. Entah berapa akun sosial media yang dia punya, yang kutahu dia banyak aktif bersama teman-teman sepergalauannya. Haus ilmu pengetahuan, walau bekerja dengan waktu yang sangat padat, ia sekarang sedang berusaha mendapatkan beasiswa S2 di sebuah negara antah berantah (mari kita do’akan semoga ia berhasil mendapatkannya kawan -aaamiiin-). Nyanyah adalah sebutan yang kusandangkan kepadanya, mempunyai arti “tante” dari koskata bahasa Madura ala Pamekasan. Kota dimana dia berasal dan kakek buyutku lahir. Jangan tanya kenapa aku memanggilnya begitu, cukup imani dan lakukan saja kalau kalian ingin jari-jari tangannya mencekek lehermu. Pintar berteman dan sering membagikan senyum gratis kepada kawan bahkan lawan πŸ™‚

Surabaya – Bandung
Berlarian membawa tas keril 40 liter yang terisi penuh di stasiun membuatku sejenak berasa artis, atau mungkin dikira pencopet. Masuk dari stasiun Surabaya Gubeng lama, menyeberangi enam rel kereta, keluar masuk dua kereta yang sedang parkir menunggu para penumpang. Masa bodoh dengan tulisan “masuk” yang dijaga dua satpam di kanan kiri pintunya, aku keluar melewati pintu masuk stasiun Surabaya Gubeng Baru. Tak sulit menemukan nyanyah, karena hanya dia satu-satunya mbak-mbak yang menggendong daypack ukuran jumbo dan menenteng sleeping bag.

Bis-2 / 12 C & 12 D. Petunjuk tiket dimana kami harus duduk selama 14 jam lebih. Entah apa yang mau kulakukan selama 14 jam tersebut. 16.30 waktu setempat, kerilku sudah berada di atas, berjejer dengan tas, kardus, koper, sangkar burung penumpang lain. Namun berbeda dengan daypack yang dibawa nyanyah copi. Sudah berkali-kali kuhasut daypacknya ditaruh diatas, ternyata hasutanku kali ini tak berhasil. Fobia kehilangan tasnya waktu ke Krakatau beberapa waktu yang lalu membuat dia tetap bersikukuh daypacknya ditaruh dibawah.

Tak seperti kereta ekonomi, yang umumnya rame dengan senyum penumpang, celoteh sapaan SKSD khas masyarakaat Endonesia, suara-suara para asongan, dsb. Di kereta ini, sunyi senyap, mungkin hanya pertanyaan basa-basi yang terdengar di puluh menit-menit pertama. Selanjutnya, hanya suara dengkuran dan bunyi decit-decit roda-roda kereta di atas rel. Beruntunglah aku bersama Nyanyah, hampir 3/4 perjalanan kami gunakan untuk bercengkrama, bercanda, bercerita tentang teman-teman kami yang super keren, tentang mereka yang sedang menaklukan rinjani, tentang teman yang sedang mencari teuku (atau tengku? kata seorang teman yang menjadi guru)ke ujung barat Endonesia, tentang teman yang sedang berusaha menempuh S3 di Jerman, bahkan hal-hal sepele seperti tentang Lady gaga yang gagal datang ke Endonesia-pun tak luput dari pembahasan. Kalaupun sudah habis ide yang terbesit untuk dibahas, bukulah kambing hitam kami untuk mengisi waktu perjalanan.

Niat menghabiskan bacaanku sudah hilang. Nyanyah masih asik dengan buku bacaannya. Lirik sana lirik sini, mencari bahan kegiatan agar tak tertidur begiu saja. Bocah balita sekitar tiga tahunan sedang berlari dari arah depanku, dituntun oleh ayahnya. Dimana kuimani nama balita itu Tegar dan ayahnya ini Bambang. Jangan tanyakan padaku darimana aku mendapatkan nama-nama itu. Matanya bulat, larinya masih terloncat-loncat, tiap kakinya menyentuh tanah, deretan gigi putih yang belum lengkap itu terlihat jelas. “aak aaak aak” begitu suaranya menambah kegemasanku untuk mencubit pipinya yang gembil.
“ayo dek sini deeek” anak perempuan berumur sepuluh tahunan berjongkok di lorong di samping tempatku duduk. Menengadahkan tangannya berharap adeknya lari dan loncat ke pelukannya.

Usilku kambuh, kuhalangi si balita dengan tanganku. Ia hanya menoleh kearahku, menunjukkan gigi-gigi putihnya sambil mengankat tangannya, berujar “aaaaaaaaaaak”. Aku hanya tersenyum ceria, membiarkan ia pergi sambil memberi sapa ke ayahnya yang sedari tadi di belakang si balita.

Menoleh ke arah nyanyah yang kukira sedari tadi masih asik dengan bukunya, berbisik lirih kepadanya “lucu ya anaknya” tak kusangka secara bersamaan dia juga memberi komen, namun berbeda “jejak petualang” sepersekian detik aku terhenyak, mengernyitkan dahi hingga enam kerutan nampak di dahiku sambil bertanya “eh?maksudnya?”
cengegesan nyanyah berbisik “iya, kaos ayah bayi tadi tulisannya jejak petualang”. Tanpa dikomando kami saling tertawa, ternyata fokus kami berbeda, kawan. Sejak saat itu kami berselisih pendapat, tentang umur sang mash-mash jejak petualang ini. Saya berpendapat mash-mash itu antara 29-31 sedang nyanyah berpendapat sudah 35 lebih. Kalau kalian?

Separuh malam telah lewat diatas roda yang bergerak. Nyanyah copi sudah terlelap, rasa lelah pulang bekerja yang dilanjut berangkat ke Bandung inipun tak kuat dibendungnya. Pembahasan soal mash-mash Jejak Petualang sudah dinilai cukup. Kehilangan minat baca sampai titik beku air, aku mencari pengalih perhatian lainnya. Tak bisa memainkan HP, karena ingin kupakai untuk berfoto-foto ria nanti setelah sampai di tempat tujuan.

Kamu tahu, kan ada orang (tokoh novel) bernama Hercule Poirot di dunia ini. Ia memiliki kemampuan penilaian yang mencengankan dari penampilan luar seseorang, karena kemampuan inilah ia bisa disejajarkan dengan Sherlock holmes. Jika melihat kuku seseorang mimiliki gorengan halus, dia bisa menebak bahwa orang itu seorang petani kubis di pertanian yang letaknya di pinggir rel kereta api dan tiap minggu si petani suka pergi ke bar untuk bermain dadu dengan taruhan 2 pound sekali putaran. Tapi jangan tanyakan padaku kenapa Poirot menyimpulkan hal demikian.

Aku berusaha seperti Poirot, menganalisis orang-orang di sekitarku. Tapi tak kutemukan yang menarik kuanalisis. Di seberang kiriku seorang pemuda yang sedari tadi duduk, sibuk dengan BB dan HP nya yang lain. Di sebelahnya, perempuan berkulit hitam kecoklatan, dengan rambut keriting berombak, juga sibuk bermain HP nya sendiri. Di depan dua orang ini, seorang perempuan berkerudung duduk dengan laki-laki yang kuperhatikan sedari tadi sibuk menggoda perempuan ini. Entah mereka suami istri atau hanya pacar. Aku tak sekurang ajar itu untuk bertanya hubungan mereka.

Subuh belum datang. Tidur, duduk, tidur lagi. Mata sudah tak bisa diajak tidur lagi. Melihat apakah yang coa ditawarkan lewat sebuah benda tembus pandang bernama jendela kaca. Tak tampak apa-apa, hitam, kelam, bahkan sinar-sinar lampu rumah penduduk tak tampak.Ini pasti pegunungan! Beregegas aku berjalan ke depan gerbong. Pintu keluar gerbong kubuka, sambil berpegangan ke gagang pintu, kujulurkan badan sedikit keluar kereta. Bintang! Sungai langit! aku berteriak histeris dari luar kereta, masa bodoh ada orang di luar sana yang mendengarnya! Sudah lama aku tak melihat sungai-sungai langit. Surabaya sudah tercemar polusi cahaya. Aku sangat histeris bisa meliaht Sirius di kala itu, bintang paling terang dalam Canis Major! Rasi Waluku juga terlihat! Aku berpindah tempat ke pintu belakangku, berharap mendapatkan keindahan sang Betelguese, namun sayang, langit sebelah sedang ditutup awan. Tapi cukuplah Sirius sebagai obat penawar rinduku saat ini.

17 Mei 06.3x Tak seperti di jadwal yang tercetak 05.59, kereta ini menepi di Stasiun Hall Bandung jam setengah tujuan pagi. Tiga kali sudah aku menapaki stasiun ini. Tak banyak berubah, keluar stasiun melalui pintu selatan, kami disambut para sopir taxi yang menawarkan jasanya. Tugu Kereta masih gagah di sebelah kiri depan pintu selatan stasiun. Cumulus stratus menghalangi matahari menyinari kami saat itu. Mungkin Bandung diguyur hujan semalam, jalan dan pepohonan masih basah, genangan-genangan air masih lebar. Embun juga masih menyelimuti area Stasiun kala itu.

Beruntunglah kami tak usah mencari Damri untuk ke Terminal Tegalega saat itu. Karena ada teman nyanyah yang mau bersusah payah dari Ujung Berung berangkat pagi untuk menyambit kami. Sambil menunggu kang x (aduh lupa namanya) aku mendekati mamang penjual gorengan di sebelah tugu kereta. Bukan untuk menanyakan berapa umur anak gadisnya, tapi untuk meminta digorengkan beberapa camilan untuk mengganjal perutku yang sejak kemarin siang belum diisi nasi.

07.xx Tak kutemukan seorangpun di area terminal Tegalega yang membawa keril, akhwat-akhwat berdaypack besar, wajah-wajah yang kukenal. Sekian menit menunggu, kuputuskan kami sarapan saja dulu di sebuah warung yang sebenarnya belum buka, karena si ibunya masih masak di dapur, tapi kami main selonong saja. Mencoba menghubungi gerombolan yang dari Jakarta, dan memastikan tempat bertemu.

19 comments so far

  1. Indra L (@indra_F8) on

    nunggu lanjutaannyaa……

    • dave on

      InsyaAlloh sesegeranya kang πŸ™‚

  2. fajare on

    next…..

    • dave on

      yuuuk

  3. lili on

    jiah masih bersambung pula πŸ™‚

    • dave on

      hehe kepanjangen kalo ga diputus πŸ˜€

  4. Hasanudin H Syafaat on

    lanjut, mainkaaan…

    • dave on

      hahaha makasih dah mampir kang mimin πŸ˜€

  5. didi on

    weits…tegal panjang..ternyata catpernya juga sungguuuuh panjaaang…ampe bersambung segala… πŸ˜€

    • dave on

      yaaa seperti punya teh didi di MP kan gitu juga :p

  6. Agus Setiawan on

    mwtode penulisannya baguuuus….banyak kandungan sastranya….tp top top 2 jempoll…lanjutkaan..

    • dave on

      alah berlebihan kang Agus ehehe tulisannya masih semrawut kang perlu banyak koreksi πŸ™‚

  7. chopie on

    kekeke… ndak lanjut catper ndak ada kopi. =))

  8. eruvierda on

    wooooooooooooooooo catpere david tho

    • shopie on

      catpermu endi vier. pingin baca catper versimu =))

      • Indra L (@indra_F8) on

        like dis yo…

      • eruvierda on

        aku kagak bikin catper….. sudah teguh πŸ™‚

      • eruvierda on

        untuk yang kali ini kayane ga pengen nulis mbak….
        mending maca dan meresapi tulisanku wae kae πŸ˜›

  9. Arief on

    haisss.. udah terkagum-kagum baca ceritanya, ternyata pake bersambung >.<


Leave a reply to dave Cancel reply